Dasar yang namanya
rezeki memang datang kapan saja. Kemarin kami sempat mengunjungi secara singkat
Art Jog disela urusan pribadi lainnya di kota Gudeg. Malam terakhir sebelum
keluar Yogyakarta, kami mengunjungi art
fair yang diselenggarakan di Jogja National Museum ini. Kami tidak akan
membahas keseluruhan karya, namun terdapat satu instalasi yang menjadi fokus
kami. Adalah karya yang terpasang di pintu masuk menuju bangunan utama.
Di pintu depan kami
menemukan semacam kios kelontong lengkap dengan rentengan makanan ringan yang
tertata rapi. Bersembunyi dibalik kawat besi layaknya yang kita umum temui di
kandang ayam, dan kemudian diatasnya juga terdapat botol-botol bensin yang tak
pelak mengundang senyum. Instalasi bertajuk Urban
Poor Exotism ini langsung menyapa pengunjung ArtJog begitu memasuki pintu
depan JNM. Farhan Siki, seniman yang berada dibalik karya ini menampilkan kesemrawutan
keidupan kota yang terwakili oleh kios tersebut namun ditata secara apik serta
artistik sehingga dapat menyedot perhatian bagi mereka yang pertama kali
melihatnya.
Sebagai warga
Indonesia, tentu kita langsung tergelitik oleh instalasi ini. Wajah kota seakan
langsung dirangkum oleh sang seniman kedalam instalasi ini. Dinding seng kios
yang sedikit penyok, tong sampah yang penuh botol botol setelah ditenggak,
rentengan minuman sachet, iklan iklan
sedot WC yang terpampang di tiang listrik (ya, tiang listrik, kami tidak
bercanda) dan stiker-stiker kota yang teksnya penuh dengan pesan absurd.
Teks-teks pada instalasi ini juga dikemas dalam tipografi ala brand-brand makanan junkfood dari mancanegara yang dipadupadankan dengan merk jagoan
lokal. Tak heran kita memandang teks McDonalds bersanding dengan Supermie
misalnya, dan masih banyak culture
jamming lainnya.
Berikut
petikan cerita sang senimannya langsung yaitu Farhan Siki mengenai karyanya:
“Karya itu sebtulnya representasi saja
(tentang) realitas urban di sekitar kita, bahwa kemiskinan itu mempunyai ritme
hidup dan keunikan sendiri yang paradok terasa getir tapi enjoy saja menjalaninya.
Maka pada praktiknya, hidup serba apa adanya, yang cenderung susah dibarengi
dengan instrumen penghiburannya, judi, undian, mistik, seks dan hal-hal instan
yang mendatangkan kesenangan. Eksekusi bentuk dan material karya lebih
fleksibel dan bertumbuh saja, tergantung space yg disediakan untuk karya
tersebut, representasi itu kan mencari hal-hal yang mewakili gagasan. Tentang karya itu
ditaruh di depan ya lebih karena alasan pembagian ruang saja. Dalam progresnya
sbtulnya ingin bersifat interaktif, artinya audience bisa saling merespon karya
itu secara visual, menempel stiker, wheatpaste atau tagging, tapi ya karena ini
di dalam galeri, jadi terkesan steril.”
Walaupun karya ini
belum direspons atau tidak direspons secara langsung oleh audience, mereka penggemar street
art tentu aware dengan instalasi
yang sangat “nyetrit” ini. Kami
pribadi menaruh minat khusus terhadap karya dimaksud disebabkan penggunaan medium stiker didalam
instalasi ini. Dan secara keseluruhan, elemen-elemen visual kota yang kita
temui di jalan langsung dihadirkan di gelaran seni yang bisa dikatakan besar
seperti Art Jog ini. Suatu apresiasi yang tinggi oleh pihak kurator untuk
menempatkannya di bagian pintu depan. Apabila macan masih memiliki waktu untuk
mengunjungi gelaran seni rupa ini, mampirlah ke JNM untuk menyaksikannya
langsung. Selain gelaran Art Jog, masih banyak juga program-program seni yang
diselenggarakan sepanjang periode akhir Mei sampai akhir Juni. Sebulan penuh,
berbagai macam galeri dan studio, workshop,
open studio, pameran dan masih banyak lainnya. Selamat berlebaran seni rupa
di Kota Gudeg.
Foto: Arsip pribadi Farhan Siki dan museum
No comments:
Post a Comment