Tuesday, 21 June 2016

Review Karya Farhan Siki, Urban Poor Exotism, ArtJog 9



Dasar yang namanya rezeki memang datang kapan saja. Kemarin kami sempat mengunjungi secara singkat Art Jog disela urusan pribadi lainnya di kota Gudeg. Malam terakhir sebelum keluar Yogyakarta, kami mengunjungi art fair yang diselenggarakan di Jogja National Museum ini. Kami tidak akan membahas keseluruhan karya, namun terdapat satu instalasi yang menjadi fokus kami. Adalah karya yang terpasang di pintu masuk menuju bangunan utama.

Di pintu depan kami menemukan semacam kios kelontong lengkap dengan rentengan makanan ringan yang tertata rapi. Bersembunyi dibalik kawat besi layaknya yang kita umum temui di kandang ayam, dan kemudian diatasnya juga terdapat botol-botol bensin yang tak pelak mengundang senyum. Instalasi bertajuk Urban Poor Exotism ini langsung menyapa pengunjung ArtJog begitu memasuki pintu depan JNM. Farhan Siki, seniman yang berada dibalik karya ini menampilkan kesemrawutan keidupan kota yang terwakili oleh kios tersebut namun ditata secara apik serta artistik sehingga dapat menyedot perhatian bagi mereka yang pertama kali melihatnya. 
  
 
 


Sebagai warga Indonesia, tentu kita langsung tergelitik oleh instalasi ini. Wajah kota seakan langsung dirangkum oleh sang seniman kedalam instalasi ini. Dinding seng kios yang sedikit penyok, tong sampah yang penuh botol botol setelah ditenggak, rentengan minuman sachet, iklan iklan sedot WC yang terpampang di tiang listrik (ya, tiang listrik, kami tidak bercanda) dan stiker-stiker kota yang teksnya penuh dengan pesan absurd. Teks-teks pada instalasi ini juga dikemas dalam tipografi ala brand-brand makanan junkfood dari mancanegara yang dipadupadankan dengan merk jagoan lokal. Tak heran kita memandang teks McDonalds bersanding dengan Supermie misalnya, dan masih banyak culture jamming lainnya.

Berikut petikan cerita sang senimannya langsung yaitu Farhan Siki mengenai karyanya:
“Karya itu sebtulnya representasi saja (tentang) realitas urban di sekitar kita, bahwa kemiskinan itu mempunyai ritme hidup dan keunikan sendiri yang paradok terasa getir tapi enjoy saja menjalaninya. Maka pada praktiknya, hidup serba apa adanya, yang cenderung susah dibarengi dengan instrumen penghiburannya, judi, undian, mistik, seks dan hal-hal instan yang mendatangkan kesenangan. Eksekusi bentuk dan material karya lebih fleksibel dan bertumbuh saja, tergantung space yg disediakan untuk karya tersebut, representasi itu kan mencari hal-hal yang mewakili gagasan. Tentang karya itu ditaruh di depan ya lebih karena alasan pembagian ruang saja. Dalam progresnya sbtulnya ingin bersifat interaktif, artinya audience bisa saling merespon karya itu secara visual, menempel stiker, wheatpaste atau tagging, tapi ya karena ini di dalam galeri, jadi terkesan steril.”

Walaupun karya ini belum direspons atau tidak direspons secara langsung oleh audience, mereka penggemar street art tentu aware dengan instalasi yang sangat “nyetrit” ini. Kami pribadi menaruh minat khusus terhadap karya dimaksud  disebabkan penggunaan medium stiker didalam instalasi ini. Dan secara keseluruhan, elemen-elemen visual kota yang kita temui di jalan langsung dihadirkan di gelaran seni yang bisa dikatakan besar seperti Art Jog ini. Suatu apresiasi yang tinggi oleh pihak kurator untuk menempatkannya di bagian pintu depan. Apabila macan masih memiliki waktu untuk mengunjungi gelaran seni rupa ini, mampirlah ke JNM untuk menyaksikannya langsung. Selain gelaran Art Jog, masih banyak juga program-program seni yang diselenggarakan sepanjang periode akhir Mei sampai akhir Juni. Sebulan penuh, berbagai macam galeri dan studio, workshop, open studio, pameran dan masih banyak lainnya. Selamat berlebaran seni rupa di Kota Gudeg. 

Foto: Arsip pribadi Farhan Siki dan museum 



No comments:

Post a Comment