Saturday, 1 March 2014

Stiker Benteng Vredeburg

Mengapa kali ini saya mengangkat tema tentang benteng Vredeburg yang ada di Yogyakarta? Well, berhubung hari ini adalah tanggal 1 Maret 2014, saya sengaja mengambil tema ini sebab benteng Vredeburg merupakan salah satu saksi sejarah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi salah satu catatan penting saat Republik ini baru mulai berdiri setelah lepas dari penjajahan Belanda. Seperti apa kisahnya? Anda penasaran? Sebelum itu kita lihat dulu stiker-stiker benteng Vredeburg dibawah ini. Stiker-stiker ini saya dapatkan ketika melakukan kunjungan akhir tahun 2012.




Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum

Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti kantor pos, stasiun kereta api,  Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 enam jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya.

Sekian pengantar dari saya mengenai benteng Vredeburg. Siapkan pikiran Anda sebab postingan kali ini memerlukan pengetahuan sejarah yang jeli dan teliti. Itulah mengapa saya mengajak Anda yang menyukai sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia untuk membacanya, Anda yang tidak? Hmmmm, bagaimana mengatakannya ya, mungkin Anda lebih baik beralih ke postingan lain yang lebih ringan dari ini. Oke? Kita mulai saja!

Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di serta beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat. Karena dengan serangan selama enam jam tersebut TNI mampu mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda yang memiliki peralatan tempur lebih modern dibanding pasukan TNI. Serangan ini mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia dan mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa Republik Indonesia sudah lemah.

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta, oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai instruksi rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun & Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini.
Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Kembali ke Yogyakarta. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono & Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula, seluruh pasukan TNI mundur.
Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan diantaranya ialah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera sesudah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas & pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram. Pada hari Selasa siang pukul 12. 00 Jenderal Meier [Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah], Dr. Angent [Teritoriaal Bestuurs-Adviseur], Kolonel van Langen [komandan pasukan di Yogya] & Residen Stock [Bestuurs-Adviseur untuk Yogyakarta] telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Aksi serangan tersebut dilakukan untuk menepis anggapan bahwa Indonesia saat itu telah habis. Adanya serangan itu juga membuktikan TNI masih ada dan cukup kuat untuk mempertahankan Indonesia. Tujuannya adalah untuk mematahkan moral Belanda dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Keberhasilan serangan ini terjadi karena kekompakan semua elemen mulai dari tentara pemerintah dan rakyat. Karena itu dikatakan semangat patriotisme, nasionalisme dan kewarganegaraan itu patut diwarisi dan diteladani dalam kehidupan masyarakat. Semangat kepahlawanan dan semangat juang itulah yang harus diwarisi untuk mengisi kemerdekaan demi kemajuan bangsa dan negara.


No comments:

Post a Comment