Tuesday, 11 March 2014

Stiker Plesetan




Plesetan. Pernahkah Anda mendengar kata ini? Kalau saya sih sering, banyak tuh stiker-stiker di museum saya yang isinya plesetan semua. Ada sekitar 100 jumlahnya. Stiker-stiker ini merupakan salah satu donasi dari karib asal Karanganyar yang kebetulan berhasil mengamankannya di depan SD terdekat. Hebat juga beliau bisa bersaing dengan anak-anak SD lokal untuk membeli stiker-stiker ini. Saya yakin penjual stikernya pun keheranan melihat tingkahnya memborong stiker-stiker tersebut. Sungguh, mulia sekali teman saya ini. Cukup kocak. Mau lihat donasi beliau? Hold your horses then.
 
 

 Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum

Ya, tiap kali kita mendengar atau melihatnya tentulah yang terpikirkan pertama kali adalah segera meluruskan jalan kalimat atau kata yang diplesetkan. Yah, namanya saja plesetan, berarti ada yang terpeleset dan harus dibangunkan lagi, ataukah dibiarkan saja agar tetap menjadi lucu? Mari kita bahas bersama, maksud saya, biar saya saja sendiri. Anda tidak perlu repot-repot.

Plesetan kalau ditarik sejarahnya berasal dari pertengahan tahun 1990-an, tahun ketika isu politik mulai memanas, tahun-tahun menjelang jatuhnya rezim Orde Baru. Pun tidak luput dalam seni hiburan, misalnya saja layar kaca. Sebab saat itu televisi memegang peranan penting dalam sosialisasi masyarakat. Saya pikir juga sekarang masih, namun internet juga perlahan-lahan mulai bersaing dengan televisi dalam merampas atensi masyarakat. Oke kita tunda dulu bahasan itu. Kembali ke awal.

Ada beberapa tayangan humor dan lawak yang ditayangkan di televisi tak lagi mengandalkan slapstick ala Srimulat atau Warkop DKI, namun mulai menggunakan gaya plesetan. Pada saat itu, plesetan yang digunakan adalah isu-isu politik, namun dilakukan dengan sangat rapi sehingga tidak ketahuan oleh aparat yang merasa dikritisi. Tak heran kadang penonton sampai harus memutar otak tentang apa sebenarnya yang dimaksud para pelawak. Anda tentu masih ingat bagaimana wrkop DKI dengan pintarnya berkata bahwa tertawalah sebeum tertawa itu dilarang. Jenius sekali.

Namun tetap saja toh akhirnya semua tahu juga sebenarnya kepada siapa lawakan itu dibuat. Kepada rezim yang berkuasa tentunya. Kepada mereka yang membuat masyarakat berada dalam segala keputusasaan hidup, tentang kelangkaan minyak, naiknya harga-harga barang, situasi politik yang memanas, dan lain-lain (baca post mengenai Stiker Soeharto edisi Januari 2014).


Ternyata eh ternyata, plesetan tidaklah hanya bahan untuk lelucuan semata.. Dalam plesetan, kita akan menemukan perspektif masyarakat mengenai persoalan sosial politik di sekitarnya, yang mereka ungkapkan dalam bentuk permainan bahasa. Bahasa yang ringan dan tidak njelimet namun mampu menyentil para birokrat atau bahkan akademisi diatasnya. Saya yakin dan percaya ahli linguistik pada zaman itu juga sampai terheran-heran bagaimana bisa fenomena kebahasaan ini bisa muncul.



Menurut Sibarani (2004) plesetan adalah sesuatu yang diplesetkan atau sesuatu yang digelincirkan sehingga tidak sesuai dengan sasaran yang sebenarnya atau tidak mengenai yang seharusnya dituju. Bahasa plesetan memperlihatkan pertambahan makna karena sebuah kata yang diplesetkan diberi makna baru dengan cara memperlakukan kata yang diplesetkan itu sebagai akronim dan kemudian diberi kepanjangannya. Pada umumnya, bahasa plesetan bersifat kontekstual sehingga berfungsi untuk mengungkapkan pola pikir dan perasaan penutur bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan tingkat kebahasaannya, Sibarani (2004) membagi plesetan bahasa menjadi 7 jenis, antara lain:

1. Plesetan Fonologis (bunyi) yaitu plesetan sebuah fonem atau lebih dalam leksikon. Plesetan semacam ini pada umumnya digunakan untuk memperolok-olok atau mengejek orang lain. Contoh: Robert diplesetkan menjadi Robek.

2. Plesetan Grafis (huruf) yaitu plesetan gabungan huruf dengan menjadikannya sebagai singkatan. Contoh: ABCD diplesetkan menjadi ABRI Bukan Cepak Doang. Hasil akhir plesetan ini hampir sama dengan singkatan atau akronim. Namun, perbedaannya terletak pada proses pembentukannya. Singkatan pada umumnya dibentuk setelah ada bentuk yang panjangnya sehingga dibentuk menjadi singkatan atau akronim, contohnya: Sekolah Menengah Atas disingkat menjadi SMA. Namun, plesetan pada umumnya gabungan hurufnya telah lebih dahulu ada atau diciptakan kemudian diberi kepanjangan. Misalnya MBA menjadi Married By Accident. Kebetulan saya punya stikernya. Sebentar.

  Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum

3. Plesetan Morfemis (Leksikon) yaitu plesetan sebuah kata dengan cara menjadikan atau menganggapnya sebagai singkatan berupa akronim. Misalnya, nama Agus diplesetkan menjadi Agak GUndul Sedikit. Saya pikir stiker dibawah juga bisa dijadikan contoh.


Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum
 
4. Plesetan Frasal (Kelompok Kata) yakni plesetan kelompok kata seperti plesetan tipe kedua dengan menjadikannya singkatan berupa akronim. Misalnya, frase Botol Lampu diplesetkan menjadi BOdoh TOLol LAMbat PUla.

5. Plesetan Kalimat (Ekspresi) yaitu plesetan sebuah kalimat dengan cara mengikuti struktur dan intonasi kalimat, tetapi mengubah kata-katanya sehingga mengubah makna keseluruhan struktur tersebut. Misalnya, teks lagu “Ayo Maju Maju” diplesetkan menjadi “Tidak Maju Maju.” 

6. Plesetan Ideologis (Semantis) yaitu plesetan sebuah ide menjadi ide lain dengan bentuk linguistik yang sama. Misalnya, ide masing-masing frase hidup tak hidup, pandangan hidup, pegangan hidup diplesetkan menjadi dipandang saja sudah hidup atau dipegang baru hidup.

7. Plesetan Diskursi (Wacana) yaitu plesetan sebuah cerita atau bentuk linguistik naratif yang sengaja digunakan untuk memutarbalikkan fakta atau kenyataan yang sebenarnya.

Saya setuju dengan pendapat Sibarani diatas. Terlepas dari kompleksnya bahsa yang digunakan untuk menggolongkan plesetan, saya merasa Sibarani berhasil menangkap semua fenomena plesetan yang terjadi dalam masyarakat dan mereview-nya menjadi contoh-contoh yang tidak asing bagi mata kita. Dalam kehidupan sehari-hari bahkan kita secara tidak sadar telah mengucapkannya. Kita menjadi subyek didalamnya. Nah!

Jadi, apakah plesetan merupakan fenomena urban? Saya rasa iya, bahkan di acara-acara lawak bodoh zaman sekarang yang sering menggunakan tepung terigu atau tepung apalah itusebagai material bercandanya. Kita tidak perlu menyebut stasiun televisi mana yang saya maksud. Atau bisa juga Anda menemukannya pada stiker-stiker? Entah itu stiker pada helm atau bisa juga usaha-usaha dagang yang sering memplesetkan merk-nya atau nama dagangnya dengan sebuah merk/brand tertentu yang lebih mengglobal. Supaya apa? Ya supaya terkenal, dan langsung mudah diingat. Well, yang seperti itu juga banyak, namun akan saya bahas dilain kesempatan sebab banyak membutuhkan kajian teori yang lebih banyak dari sekedar pendapat dan observasi saya sendiri. Sampai jumpa, selamat berpleset ria!

Sumber: Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.

No comments:

Post a Comment