Plesetan. Pernahkah Anda mendengar kata ini? Kalau saya sih sering, banyak tuh stiker-stiker di museum saya yang isinya plesetan semua. Ada sekitar 100 jumlahnya. Stiker-stiker ini merupakan salah satu donasi dari karib asal Karanganyar yang kebetulan berhasil mengamankannya di depan SD terdekat. Hebat juga beliau bisa bersaing dengan anak-anak SD lokal untuk membeli stiker-stiker ini. Saya yakin penjual stikernya pun keheranan melihat tingkahnya memborong stiker-stiker tersebut. Sungguh, mulia sekali teman saya ini. Cukup kocak. Mau lihat donasi beliau? Hold your horses then.
Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum
Ya, tiap kali kita mendengar atau melihatnya tentulah yang terpikirkan pertama kali adalah segera meluruskan jalan kalimat atau kata yang diplesetkan. Yah, namanya saja plesetan, berarti ada yang terpeleset dan harus dibangunkan lagi, ataukah dibiarkan saja agar tetap menjadi lucu? Mari kita bahas bersama, maksud saya, biar saya saja sendiri. Anda tidak perlu repot-repot.
Plesetan
kalau ditarik sejarahnya berasal dari pertengahan tahun 1990-an, tahun ketika
isu politik mulai memanas, tahun-tahun menjelang jatuhnya rezim Orde Baru. Pun
tidak luput dalam seni hiburan, misalnya saja layar kaca. Sebab saat itu
televisi memegang peranan penting dalam sosialisasi masyarakat. Saya pikir juga
sekarang masih, namun internet juga perlahan-lahan mulai bersaing dengan
televisi dalam merampas atensi masyarakat. Oke kita tunda dulu bahasan itu.
Kembali ke awal.
Ada
beberapa tayangan humor dan lawak yang ditayangkan di televisi tak lagi
mengandalkan slapstick ala Srimulat atau Warkop DKI, namun mulai
menggunakan gaya plesetan. Pada saat itu, plesetan yang digunakan adalah
isu-isu politik, namun dilakukan dengan sangat rapi sehingga tidak ketahuan
oleh aparat yang merasa dikritisi. Tak heran kadang penonton sampai harus
memutar otak tentang apa sebenarnya yang dimaksud para pelawak. Anda tentu
masih ingat bagaimana wrkop DKI dengan pintarnya berkata bahwa tertawalah
sebeum tertawa itu dilarang. Jenius sekali.
Namun
tetap saja toh akhirnya semua tahu juga sebenarnya kepada siapa lawakan
itu dibuat. Kepada rezim yang berkuasa tentunya. Kepada mereka yang membuat
masyarakat berada dalam segala keputusasaan hidup, tentang kelangkaan minyak,
naiknya harga-harga barang, situasi politik yang memanas, dan lain-lain (baca post
mengenai Stiker Soeharto edisi Januari 2014).
Ternyata
eh ternyata, plesetan tidaklah hanya bahan untuk lelucuan semata.. Dalam
plesetan, kita akan menemukan perspektif masyarakat mengenai persoalan sosial
politik di sekitarnya, yang mereka ungkapkan dalam bentuk permainan bahasa.
Bahasa yang ringan dan tidak njelimet namun mampu menyentil para
birokrat atau bahkan akademisi diatasnya. Saya yakin dan percaya ahli
linguistik pada zaman itu juga sampai terheran-heran bagaimana bisa fenomena kebahasaan
ini bisa muncul.
Menurut
Sibarani (2004) plesetan adalah sesuatu yang diplesetkan atau sesuatu yang
digelincirkan sehingga tidak sesuai dengan sasaran yang sebenarnya atau tidak
mengenai yang seharusnya dituju. Bahasa plesetan memperlihatkan pertambahan
makna karena sebuah kata yang diplesetkan diberi makna baru dengan cara
memperlakukan kata yang diplesetkan itu sebagai akronim dan kemudian diberi
kepanjangannya. Pada umumnya, bahasa plesetan bersifat kontekstual sehingga
berfungsi untuk mengungkapkan pola pikir dan perasaan penutur bahasa yang
bersangkutan. Berdasarkan tingkat kebahasaannya, Sibarani (2004) membagi
plesetan bahasa menjadi 7 jenis, antara lain:
1.
Plesetan Fonologis (bunyi) yaitu plesetan sebuah fonem atau lebih dalam leksikon.
Plesetan semacam ini pada umumnya digunakan untuk memperolok-olok atau mengejek
orang lain. Contoh: Robert diplesetkan menjadi Robek.
2.
Plesetan Grafis (huruf) yaitu plesetan gabungan huruf dengan menjadikannya
sebagai singkatan. Contoh: ABCD diplesetkan menjadi ABRI Bukan Cepak Doang.
Hasil akhir plesetan ini hampir sama dengan singkatan atau akronim. Namun,
perbedaannya terletak pada proses pembentukannya. Singkatan pada umumnya
dibentuk setelah ada bentuk yang panjangnya sehingga dibentuk menjadi singkatan
atau akronim, contohnya: Sekolah Menengah Atas disingkat menjadi SMA. Namun,
plesetan pada umumnya gabungan hurufnya telah lebih dahulu ada atau diciptakan
kemudian diberi kepanjangan. Misalnya MBA menjadi Married By Accident. Kebetulan
saya punya stikernya. Sebentar.
Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum
3.
Plesetan Morfemis (Leksikon) yaitu plesetan sebuah kata dengan cara menjadikan
atau menganggapnya sebagai singkatan berupa akronim. Misalnya, nama Agus
diplesetkan menjadi Agak GUndul Sedikit. Saya pikir stiker dibawah juga bisa
dijadikan contoh.
Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum
4. Plesetan Frasal (Kelompok Kata) yakni plesetan kelompok kata seperti plesetan tipe kedua dengan menjadikannya singkatan berupa akronim. Misalnya, frase Botol Lampu diplesetkan menjadi BOdoh TOLol LAMbat PUla.
5.
Plesetan Kalimat (Ekspresi) yaitu plesetan sebuah kalimat dengan cara mengikuti
struktur dan intonasi kalimat, tetapi mengubah kata-katanya sehingga mengubah
makna keseluruhan struktur tersebut. Misalnya, teks lagu “Ayo Maju Maju”
diplesetkan menjadi “Tidak Maju Maju.”
6.
Plesetan Ideologis (Semantis) yaitu plesetan sebuah ide menjadi ide lain dengan
bentuk linguistik yang sama. Misalnya, ide masing-masing frase hidup tak hidup,
pandangan hidup, pegangan hidup diplesetkan menjadi dipandang saja sudah hidup
atau dipegang baru hidup.
7.
Plesetan Diskursi (Wacana) yaitu plesetan sebuah cerita atau bentuk linguistik
naratif yang sengaja digunakan untuk memutarbalikkan fakta atau kenyataan yang
sebenarnya.
Saya setuju
dengan pendapat Sibarani diatas. Terlepas dari kompleksnya bahsa yang digunakan
untuk menggolongkan plesetan, saya merasa Sibarani berhasil menangkap semua
fenomena plesetan yang terjadi dalam masyarakat dan mereview-nya menjadi
contoh-contoh yang tidak asing bagi mata kita. Dalam kehidupan sehari-hari
bahkan kita secara tidak sadar telah mengucapkannya. Kita menjadi subyek
didalamnya. Nah!
Jadi,
apakah plesetan merupakan fenomena urban? Saya rasa iya, bahkan di acara-acara
lawak bodoh zaman sekarang yang sering menggunakan tepung terigu atau tepung
apalah itusebagai material bercandanya. Kita tidak perlu menyebut stasiun
televisi mana yang saya maksud. Atau bisa juga Anda menemukannya pada
stiker-stiker? Entah itu stiker pada helm atau bisa juga usaha-usaha dagang
yang sering memplesetkan merk-nya atau nama dagangnya dengan sebuah merk/brand
tertentu yang lebih mengglobal. Supaya apa? Ya supaya terkenal, dan langsung
mudah diingat. Well, yang seperti itu juga banyak, namun akan saya bahas
dilain kesempatan sebab banyak membutuhkan kajian teori yang lebih banyak dari
sekedar pendapat dan observasi saya sendiri. Sampai jumpa, selamat berpleset
ria!
Sumber:
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.
No comments:
Post a Comment