Thursday, 20 March 2014

Stiker Ndeso



Halo. Apa kabar? Langsung saja saya geber. Apa batasan bagi kita masyarakat untuk menghakimi seseorang bahwa ia adalah seorang yang udik, norak, kampungan? Bukankah kita juga berasal dari kumpulan kampung-kampung yang kita klaim sebagai kota? Apakah bedanya kita dan mereka? Atau apa maksud kita memberikan batasan itu? Bahwa kita bukanlah orang yang udik, norak dan kampungan melainkan mereka? Salahkah menjadi orang yang ndeso? Sebelumnya seperti biasa mari kita simak stiker-stiker koleksi museum kami di Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum.

 
Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum

Stiker-stiker diatas pastilah banyak beredar di kabupaten-kabupaten dimana populasi wong ndeso-nya sangat masif. Disini saya tidak rasis. Saya ingin menunjukkan bahwa eksistensi stiker semacam ini hanyalah ditemukan pada masyarakat akar rumput. Bisa kita lihat dari teknik cetak stiker, pemilihan warna, desain yang sangat minimalis dan unsur-unsur lain yang menyertainya. Namun itulah realitas yang dihadapi, tanpa unsur seni, tanda ada ekstensi, semuanya jujur dan apa adanya, langsung melabrak siapapun yang melihatnya. Terkadang dengan kata-kata senonoh yang patut disensor. Apapun itu, saya salut dengan stiker-stiker ini sebab konsistensinya yang panjang umur tak lekang oleh zaman sebab stiker semacam ini berkembang bukan melalui asas teknokratis, melainkan dari teknik oral. Teknik lisan atau komunikasi msyarakat kelas bawah di pos ronda, sekolah, warung kelontong, di perempatan, dimana saja selama obrolan-obrolan nyerocos itu ada.

Kita melihat ndeso atau tidaknya seseorang dengan membandingkan antara kehidupan di kabupaten (saya tidak akan menyebut desa disini) dan kota. Kita sering membandingkan antara dua kutub yang sangat jauh berbeda namun dekat dan saling berhubungan. Kehidupan anak muda kabupaten atau bolehlah saya kata ‘kota coret’ merupakan kehidupan yang keras dimana bisa saya tarik korelasinya dengan tingkat pelayanan publik yang kurang sehingga berbanding lurus dengan perilaku masyarakatnya yang kecewa terhadap otoritas dimana muncul suara-suara centil sebagai media hiburan masyarakat. Tak heran mengapa pertunjukan musik dangdut (yang sering kita anggap kampungan itu) menjamur dan bergerak pada masyarakat kelas bawah. Dengan sedikit polesan maka subkultur yang diciptakan atau dihasilkan oleh masyarakat akar rumput ini akhirnya sampai juga ke ibukota Jakarta.

Oke-oke, kembali ke awal. Mengapa jadi merambah ke dunia seni segala. Kan awalnya saya hanya ingin membahas tentang stiker ndeso dan fenomena urban yang menyertainya saja, tidak lebih jauh dari itu. Kalau Anda ingin lebih jauh, silahkan menganalisisnya sendiri. Kembali ke stiker. Ya, dimana stiker-stiker ini bisa dijumpai? Gampang! Temukan saja pemuda bergaya kabupaten setempat dan perhatikan motor atau helmnya, niscaya Anda akan menemukan stiker-stiker unik semacam ini.

Pesan saya, jangan terlalu serius menanggapi stiker-stiker diatas, sebab stiker inilah salah satu bentuk kejujuran sosial yang ditumpahkan dalam media yang paling kecil dan murah tanpa sensor yang menyertainya. Sungguh menyentil dan unik. Bukan rasis, tapi inilah salah satu contoh suara akar rumput yang bisa merangsek ke ibukota bahkan memporakporandakannya. Tak perlu memaksakan diri untuk menjadi seseorang yang urban atau metro, cukup berpenampilan ndeso, bertutur kata sederhana dan jujur, pastilah kebahagiaan itu datang dengan sendirinya. Ndeso? Yo ben!

No comments:

Post a Comment