Halo. Apa kabar?
Langsung saja saya geber. Apa batasan bagi kita masyarakat untuk menghakimi
seseorang bahwa ia adalah seorang yang udik, norak, kampungan? Bukankah kita
juga berasal dari kumpulan kampung-kampung yang kita klaim sebagai kota? Apakah
bedanya kita dan mereka? Atau apa maksud kita memberikan batasan itu? Bahwa kita
bukanlah orang yang udik, norak dan kampungan melainkan mereka? Salahkah menjadi
orang yang ndeso? Sebelumnya seperti biasa mari kita simak stiker-stiker koleksi museum kami di Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum.
Sumber: Koleksi Easy Tiger, Asia #1 Stickers Museum
Stiker-stiker
diatas pastilah banyak beredar di kabupaten-kabupaten dimana populasi wong ndeso-nya sangat masif. Disini saya
tidak rasis. Saya ingin menunjukkan bahwa eksistensi stiker semacam ini
hanyalah ditemukan pada masyarakat akar rumput. Bisa kita lihat dari teknik
cetak stiker, pemilihan warna, desain yang sangat minimalis dan unsur-unsur
lain yang menyertainya. Namun itulah realitas yang dihadapi, tanpa unsur seni,
tanda ada ekstensi, semuanya jujur dan apa adanya, langsung melabrak siapapun
yang melihatnya. Terkadang dengan kata-kata senonoh yang patut disensor. Apapun
itu, saya salut dengan stiker-stiker ini sebab konsistensinya yang panjang umur
tak lekang oleh zaman sebab stiker semacam ini berkembang bukan melalui asas
teknokratis, melainkan dari teknik oral. Teknik lisan atau komunikasi msyarakat
kelas bawah di pos ronda, sekolah, warung kelontong, di perempatan, dimana saja
selama obrolan-obrolan nyerocos itu
ada.
Kita melihat ndeso atau tidaknya seseorang dengan membandingkan
antara kehidupan di kabupaten (saya tidak akan menyebut desa disini) dan kota. Kita
sering membandingkan antara dua kutub yang sangat jauh berbeda namun dekat dan
saling berhubungan. Kehidupan anak muda kabupaten atau bolehlah saya kata ‘kota
coret’ merupakan kehidupan yang keras dimana bisa saya tarik korelasinya dengan
tingkat pelayanan publik yang kurang sehingga berbanding lurus dengan perilaku
masyarakatnya yang kecewa terhadap otoritas dimana muncul suara-suara centil
sebagai media hiburan masyarakat. Tak heran mengapa pertunjukan musik dangdut
(yang sering kita anggap kampungan itu) menjamur dan bergerak pada masyarakat
kelas bawah. Dengan sedikit polesan maka subkultur yang diciptakan atau
dihasilkan oleh masyarakat akar rumput ini akhirnya sampai juga ke ibukota
Jakarta.
Oke-oke, kembali
ke awal. Mengapa jadi merambah ke dunia seni segala. Kan awalnya saya hanya
ingin membahas tentang stiker ndeso dan
fenomena urban yang menyertainya saja, tidak lebih jauh dari itu. Kalau Anda
ingin lebih jauh, silahkan menganalisisnya sendiri. Kembali ke stiker. Ya,
dimana stiker-stiker ini bisa dijumpai? Gampang! Temukan saja pemuda bergaya
kabupaten setempat dan perhatikan motor atau helmnya, niscaya Anda akan
menemukan stiker-stiker unik semacam ini.
Pesan saya,
jangan terlalu serius menanggapi stiker-stiker diatas, sebab stiker inilah
salah satu bentuk kejujuran sosial yang ditumpahkan dalam media yang paling
kecil dan murah tanpa sensor yang menyertainya. Sungguh menyentil dan unik.
Bukan rasis, tapi inilah salah satu contoh suara akar rumput yang bisa
merangsek ke ibukota bahkan memporakporandakannya. Tak perlu memaksakan diri
untuk menjadi seseorang yang urban atau metro, cukup berpenampilan ndeso,
bertutur kata sederhana dan jujur, pastilah kebahagiaan itu datang dengan sendirinya.
Ndeso? Yo ben!